Situasi GPM Selama Pendudukan Jepang
Jepang
menjajah Indonesia kurang lebih tiga setengah tahun (Februari 1942 – Agustus
1945). Pada saat itu Maluku pun tidak luput dari tangan Jepang. GPM yang
sebagai Gereja saat itu baru berusia enam tahun. Sejarah mencatat bahwa
kedatangan Jepang menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Indonesia pada
umumnya, dan bagi orang-orang Kristen pada khususnya. Kelompok Kristen yang
paling menderita adalah orang-orang Kristen Maluku.
Gereja
dan orang-orang Kristen pada umumnya dicurigai karena dianggap mempunyai
hubungan yang erat dengan pemerintah Belanda yang merupakan musuh mereka. Salah
satu gereja yang mengalami tekanan cukup berat adalah GPM. Pendeta-pendeta yang
dicurigai terus diawasi bahkan ada yang ditahan. Apalagi, pendeta-pendeta
tersebut berkebangsaan Belanda.
Penderitaan
yang dialami oleh GPM terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Tahun 1943
dan 1944 merupakan masa yang paling berat bagi GPM. Perlakuan Jepang makin
kejam terhadap para pejabat GPM. Hal ini disebabkan oleh pemusatan kegiatan
militer Jepang di Ambon dalam rangka menjadikan Maluku sebagai batu loncatan
untuk menyerang Australia pada tahun 1943. Dalam situasi demikian, semua unsur
yang bersikap netral maupun menentang ketentuan-ketentuan pemerintah Jepang,
ditindak dengan cara-cara yang kejam. Pendeta-pendeta dicurigai, khusus dalam
hal melayani ibadah minggu, karena diduga kesempatan ini dipakai untuk
mengkhotbakan hal-hal yang menentang politik perang tentara jepang. Untuk itu
jepang mengambil tindakan untuk menyensor khotbah-khotbah sebelum disampaikan.
Setelah
beberapa pendeta Jepang didatangkan ke Maluku, gelombang perlakuan kejam
terhadap warga GPM agak berkurang. Walaupun demikian, hal itu tidak dapat
mencegah semua penganiayaan dan pembunuhan terhadap pejabat-pejabat GPM. Selama
pendudukan Jepang (1942-1945), tercatat sebanyak 31 pendeta dan 37 guru jemaat
serta 83 guru sekolah, bahkan tidak kurang dari 14 orang bersama istri dan
anak-anaknya yang meninggal di tangan polisi rahasia jepang.
GPM
dalam melihat hal ini mencoba untuk menjawab segala tantangan-tantangan yang
terjadi. Hal ini membuktikan bahwa situasi yang cukup sulit ini tidak
mematahkan semangat pemimpin gereja untuk memelihara kelanjutan pelayanan di
dalam gereja. Mereka bertekad untuk menghadapi keadaan dan situasi yang baru
itu dengan seluruh kemampuan yang mereka miliki.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih kepada sobat sekalian yang sudah masuk ke blog ini. Jangan lupa untuk komentar ya.