Perempuan Sebagai Yang Lain (Compassionate and Free) Part 2
Bab ini diawali
dengan kesadaran eksistensi diri dari seorang Marianne, yang menimbulkan suatu
pemahaman “yang lain” yang juga menimbulkan rasa teralienasi. Kesadaran ini
juga merupakan suatu refleksi yang panjang dari pengalaman hidupnya. Di mulai
dengan kesadarannya sebagai seorang Kristen yang merasa menjadi “yang lain” di
tengah-tengah bangsa yang mayoritasnya bukan agama Kristen, ataupun kesadaran
menjadi seorang anak gadis yang menganggap anak lelaki sebagai sesamanya, bukan
orang yang unggul darinya.
Dalam kehidupan
berbangsa sekaligus bernegara, menjadi “yang lain” merupakan suatu hal yang
rumit, karena bangsa ini mempunyai keragaman suku, agama, maupun ras. Terkadang
menjadi “yang lain” dianggap sebagai sebuah ancaman atau dianggap sebagai
sesuatu yang asing (alien). Maklumlah karena bangsa kita adalah bagian genologi
Bangsa Asia yang masih terikat dengan kosmis. Namun bagi seorang Marianne,
menjadi “yang lain” dapat merupakan suatu pengalaman yang membebaskan, yang
dapat digunakan untuk memperkaya keberagaman nasional.
Dalam kehidupan gereja, perempuanlah merupakan
“yang lain” tersebut. Bahkan sepanjang sejarah, gereja-gereja cenderung memberikan
suatu legitimasi teologis yang bersifat Patriakh (sovinisme). Kalaupun
perempuan diijinkan untuk masuk di lembaga pendidikan teologi yang dikuasai
oleh lelaki atau pun sturktur gereja yang bersifat patriakhal, maka mereka
diharapkan berteologi dengan gagasan-gagasan yang diciptakan dalam konteks
patriakhal tersebut. Untuk itu, agar bisa maju dalam masyarakat Patriakhal,
perempuan diharapkan menjadi seperti lelaki, sehingga seringkali jika ditemukan
perempuan-perempuan yang mempunyai kedudukan penting di tengah-tengah
masyarakat patriakh, mereka telah menjadi begitu “kelaki-lakian” bukan menjadi
“yang lain” sehingga mereka lebih merugikan kaum perempuan untuk mencapai
pembebasan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih kepada sobat sekalian yang sudah masuk ke blog ini. Jangan lupa untuk komentar ya.