Misi Sebagai Teologi Kontekstual
Lahirnya Teologi Kontekstual.
Kata Kontekstual pertama kali diciptakan pada awal tahun1972, di kalangan Dana Pendidikan Teologi (Theological Education Fund). Kata ini segera menyebar dan menjadi sebuah istilah umum dari berbagai model Teologi. Ada dua jenis model Teologi yaitu, Model Pempribumian dan model Sosial Ekonomi. Model Pempribumian digambarkan sebagai model terjemahan atau model inkulturasi. Sedangkan model sosial-ekonomi bersifat evolusioner yang mencakup teologi politik dan teologi pembangunan, dan juga bersifat revolusioner yang mencakup teologi pembebasan, teologi feminis, teologi hitam.
Pada awalnya, Gereja menolak kontekstual. Setiap penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan oleh suatu kelompok (gereja Roma) dianggap sesat. Bahkan, pada abad ke-16 Katolik menolak sifat Kristen yang ada pada Protestan.
Gereja pada umumnya selalu ada dalam suatu proses perubahan. Gereja di masa kini adalah produk dari masa lalu dan benih untuk masa depan. Karena itu, teologi tidak boleh dilakukan sebagai usaha untuk merekonstrusikan masa lalu yang kuno dan kebenaran-kebenarannya. Sebaliknya teologi adalah refleksi tentang kehidupan dan pengalaman gereja sendiri. Teologi pun dipengaruhi bahkan ditentukan oleh konteks di mana ia berkembang.
Pengistilahan Teologi Kontekstual
Teologi kontekstual adalah teologi dari sisi bawah sejarah yang bersumber pada kitab suci dan tradisi, dan ditambah dengan ilmu-ilmu sosial. Inti pembicaraanya adalah orang-orang miskin dan mereka yang termarjinalkan secara budaya. Ini merupakan pengertian yang baru, dan lebih menekankan pada pengutamaan praksis. Hubungan antara praksis dan teori dijungkir-balikan oleh teologi barat. Di mana teori lebih diangkat hingga melebihi praksis. Padahal, yang ideal adalah adanya suatu hubungan dialektis antara teologi dan praksis atau yang lebih jelas yaitu, iman dan misi gereja yang nyata dan historis harus saling bergantung.
Menurut Steven Bevans, yang membuat suatu teologi itu kontekstual adalah pengakuan teologi itu akan sumber teologi selain Teks kitab suci dan tradisi yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi yang berwajah kontekstual menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dll, harus diindahkan bersama dengan kitab suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang sah untuk ungkapan teologis
Hakekat Kontekstualisasi
Tidak ada teologi yang secara sosial dan politik netral. Dalam perjuangan demi kehidupan dan melawan maut, teologi harus menentukan pilihan. Namun demikian teologi tidak harus bertindak berlebihan. Dalam hal ini, sama sekali memutuskan dan menyangkal hubungan dengan tokoh teologis dan gereja masa lalu. Untuk itulah hakekat teologi kontekstual berdasarkan pengalaman diatas yaitu:
1. Kontekstualisasi adalah penegasan bahwa Allah telah berpaling kepada dunia.
Sesunggahnya dunia merupakan panggung aktifitas Allah. itu berarti tetap ada suatu dualitas antara Allah dengan dunia. Namun, hal itulah yang membuat manusia untuk terlibat didalam dunia dan juga harus bisa mempertahankan identitasnya di dalam Kristus.
2. Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi lokal.
Para Teolog kontekstual menolak untuk menulis teologi-teologi sistematika karena segala sesuatu harus dicocokan ke dalam sebuah sistem yang mencakup segalanya. Padahal, yang dibutuhkan adalah sebuah teologi yang eksperimental. Teologi yang terus menerus terjadi dialog antara teks dan konteks, dan sifatnya sementara.
3. Kontekstualisasi bukan berarti universalisme.
Teologi yang lahir dalam konteks tertentu tidak boleh dipaksakan bagi orang lain dalam konteks yang berbeda untuk menerimanya.
4. Kontekstualisasi harus bisa menafsirkan tanda-tanda zaman.
5. Kontekstualisasi tidak boleh ditanggapi sebagai kewibawaan satu-satunya yang paling mendasar dari refleksi teologis.
Dari Konteks ke Teks - Kontekstualisasi
Konteks sangat penting bagi Teologi. Konteks juga sangat penting untuk pengembangan kitab suci dan tradisi. Teks-teks kitab suci dan tradisi merupakan hasil olahan manusia dari konteks kehidupan mereka. Ketika kita mempelajari kitab suci dan tradisi, kita tidak hanya bisa melihat ciri kontekstualnya. Kita juga harus membaca dan menafsir keduanya dalam konteks kita sendiri.
Konteks bersifat dinamis yang turut mempengaruhi pemahaman kita akan Allah, serta ungkapan iman kita. Tidak selamanya teks dapat menilai konteks . untuk itu, pesan Injil tidak dapat di pandang sebagai sesuatu yang kita bawa ke konteks, melainkan sebagai sesuatu yang kita ambil dari konteks.
Kontekstualisasi merupakan cara terbaik untuk menyeimbangkan unsur Teks kitab suci dan tradisi dengan konteks. Kontekstualisasi mengacu kepada kenyataan bahwa teologi membutuhkan interaksi dan dialog.
KESIMPULAN
§ Tidak ada sesuatu yang disebut Teologi, yang ada hanyalah teologi kontekstual: teologi feminis, teologi hitam, teologi Afrika, teologi Asia-Amerika, dll. Karena semuanya hadir dalam pergumulan antara teks dengan konteks tertentu.
§ Kontekstualisasi bukan merupakan sesuatu yang berada pada pinggiran upaya teologi, tetapi berada dalam pusat berteologi dewasa ini.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih kepada sobat sekalian yang sudah masuk ke blog ini. Jangan lupa untuk komentar ya.