Pernikahan Beda Agama (1 Korintus 7:12-16)
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian
pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan
beda agama tidak diatur dalam UU tersebut, namun di dalam ketentuan peralihan
pasal 66 UU No.1/1974, terdapat pernyataan yang berbunyi:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S.1898 No.158), dan peraturan
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Ayat di atas tentu mengarahkan kita ke
peraturan mengenai pernikahan campuran yang lama berdasarkan Regeling Op De Gemengde Huwelijken
S.1898 No.158. peraturan tersebut di bantah oleh MUI yang menyatakan bahwa
pernikahan beda agama adalah haram berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama.
Landasan hukum pernikahan campuran di
Indonesia mengalami perdebatan yang panjang karena terjadi berbagi benturan
pendapat dari berbagai kelompok yang beragam pola piker berdasarkan agama
maupun organisasi masyarakat. Hal yang sama juga terjadi di dalam kekristenan
itu sendiri, masih terjadi perbedaan pendapat tentang pernikahan beda agama.
Moffat memulai penjelasannya mengenai 1
Korintus 7:12-16 dengan memberikan pernyataan keras bahwa, untuk masalah
pernikahan dimana kedapatan seseorang mempunyai pasangan yang berbeda agama,
maka seharusnya keputusan berada di tangan mereka sendiri. Ini tentu memberikan
reaksi keras terhadap beberapa agama yang melarang pernikahan campuran.
Pandangan
awal untuk pernikahan adalah “suci dan kudus”. Bahkan konsep suci dan kudus ini
disandingkan dengan konsep satu Tuhan, satu Tubuh Kristus sehingga menimbulkan
sikap inklusif. Pernikahan memang suci dan kudus, namun pandangan ini pun
berakar dari pandangan bahwa orang Yahudi adalah orang suci dan kudus, dan
kemudian bergeser ke dalam pandangan bahwa orang Kristen sajalah yang suci dan
kudus sedangkan orang yang diluar kristus adalah orang-orang cemar. Ini tentu
memberikan tekanan dalam pandangan Paulus bahwa ada orang-orang kudus yaitu
orang beriman dan ada orang-orang yang tidak beriman dan menimbulkan tingkatan
dalam hubungan keluarga dari pasangan yang berbeda agama. (Conzelman: A Commentary On First Epistle To The
Corinthians)
Kekudusan
ataupun kecemaran dari pasangan yang melakukan nikah campuran tidak hanya
dimiliki sendiri oleh mereka, namun bisa diturunkan untuk anak mereka. Ini
merupakan konsep “kekudusan” anak yang baru lahir dari seorang ibu yang di
anggap pada zaman perjanjian baru adalah orang yang tidak beriman. Menurut Calvin’s Commentary seorang anak yang
lahir dari rahim orang percaya adalah anak-anak suci di dalam gereja, sama
seperti pandangan Paulus dalam surat Roma bahwa kita terlahir sebagai anak-anak
yang suci.
Menurut
Wycliffe, dalam bagian 1 Korintus 12-16 bukanlah peraturan akan pernikahan yang
akan terjadi, melainkan nasihat Paulus kepada Pernikahan yang dulu dilakukan
bagi sepasang manusia yang tidak beriman kemudian salah satu dari mereka
menjadi Kristen dan yang lain tetap berpegang teguh pada kepercayaan mereka
yang lama. Hal ini tentu akan memberingan sumbangan penting dalam memahami apa
yang dikatakan Paulus dalam 1 Korintus 7:12-16. Menurutnya, penekanan utama dalam
pemberitaan Paulus dalam bagian Alkitab itu adalah bagiamana seorang yang
beriman mempertahankan pernikahannya dengan seorang yang tidak beriman. Secara
ringkas menurutnya ada 3 alasan mengapa seorang beriman tidak boleh menceraikan
pasangannya yang tidak percaya keculi jika pasangan tersebut meminta cerai,
alasan tersebut sebagai berikut: alasan yang pertama, anak-anak dari orang tua
yang merupakan pasangan nikah campuran adalah anak-anak yang kudus. Alasan yang
kedua adalah, Tuhan menghendaki kita hidup dalam perdamaian sehingga pasangan
yang berasal dari pernikahan campuran sebaiknya menghindari perceraian jika itu
dapat menyebabkan pertikaian. Alasan yang terkahir, di dalam pernikahan
terdapat misi penyelamatan, jika mereka dapat mempertahankan pernikahan mereka.
Kerangka Berpikir
Dalam 1 Korintus 7:12-16, penulis hendak menyampaikan
beberapa hal menyangkut pernikahan. Hal-hal tersebut bukanlah menyangkut tata
cara/tradisi saja, melainkan perubahan paradigma berdasarkan pemikiran Paulus.
Di dalam beberapa pernyataan Paulus mengungkapkan dasar dari
perkawinan adalah “keinginan” untuk dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Untuk
itu percerian akan dimulai dengan “keinginan” untuk berpisah, dan sebagai orang
yang beriman kita tidak bisa melawan keinginan tersebut, jika pasangan lain
ingin bercerai (ay. 12). Paulus sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana dasar
dari sebuah pernikahan adalah cinta karena ia sendiri adalah orang yang memilih
untuk selibat, bahkan ia sempat mengajak jemaat untuk tidak kawin (ay. 1),
namun bukan berarti ia tidak bisa menasehati orang-orang yang baru saja percaya
kepada Kristus dalam pernikahan mereka.
Pernyataan Paulus dalam 1 Korintus 7:12-16 merupakan sebuah
proklamasi terhadap pandangan/paradigma baru. Semula, di dalam Yudaisme, konsep
haram dan halal sangatlah kuat. Sesuatu yang haram bisa membuat sesuatu yang
suci dan kudus ternoda, untuk itu yang suci tidak bisa didekati atau
berhubungan dengan sesuatu yang haram karena yang suci dan kudus akan tercemar.
Untuk masalah pernikahan hukum Yahudi mengharuskan untuk menyingkirkan orang
yang tidak percaya (Ezr. 9:1-10:44). Sedangkan di dalam Perjanjian Baru,
khususnya pendapat Paulus di dalam 1 Korintus 7:12-16 mereduksi pemikiran
tersebut. Hal ini bisa terlihat pada ayat 14 dimana seorang istri yang beriman
bisa menguduskan seorang suami yang tidak beriman. Tanpa menghilangkan
paradigma awal, Paulus menegaskan bahwa: bukan hanya yang cemar dapat
mempengaruhi yang suci, tapi juga yang suci dapat mempengaruhi yang cemar. Ini
merupakan sebuah proklamasi terhadap pemikiran jemaat Kristen mula-mula oleh
Paulus yang tidak menikah.
Berdasarkan pemikiran Paulus yang terdapat dalam 1 Korintus
7:12-16 terdapat gambaran misi penyelamatan dalam sebuah pernikahan. Misi
penyelamatan ini bersifat terbuka terhadap siapa saja tanpa memaksakan
kehendak. Misi penyelamatan ini dilakukan karena sudah terjadi pereduksian
terhadap cara pandang yang kudus dan cemar, sehingga misi penyelamatan tidak
dipandang sebagai suatu bentuk ekspansi kekristenan terhadap agama lain didalam
sebuah keluarga berlatarbelakang pernikahan beda agama. Itu berarti ada
berbagai alasan mengapa Paulus tidak menyetujui adanya perceraian dalam sebuah
keluarga yang sudah “terlanjur” menikah dan berbeda agama. Selain penyelamatan,
alasan yang lain yaitu : Cinta, sebagai sesuatu yang ultimate dan sacral
sehingga tidak bisa ditiadakan oleh hasil konstruksi manusia lewat agama-agama.
Setiap keluarga yang membangun hubungan mereka dengan cinta
tentu akan terus melakukan apapun untuk berkomitmen mempertahankan pernikahan
mereka. Begitu juga dengan cinta Yesus kepada manusia. Yesus rela menjumpai,
orang buta, kusta, perempaun pelacur dan sebagainya. Tidak hanya karena
tuntutan kehadiranNya sebagai anak Allah, melainkan cintaNya yang besar bagi
umatNya. Itulah alasan mengapa Cinta merupakan nilai yang ultimate dan sacral dalam
kehidupan manusia.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih kepada sobat sekalian yang sudah masuk ke blog ini. Jangan lupa untuk komentar ya.