Kajian (Teologi Spiritualitas dan Seni) Cerpen “Putu Menolong Tuhan”
Deskripsi Cerpen
“Putu Menolong Tuhan
Putu adalah anak
perempuan kecil dalam cerita pendek “Putu menolong Tuhan.” Umurnya tidak
dideskripsikan. Ibunya seorang pengajar (dosen?). Ayahnya seorang wartawan
handal. Putu digambarkan sebagai anak yang kritis (cerdas?). Ia melemparkan
pertanyaan-pertanyaan seputar kepercayaan (tradisi) ibunya yang ber-latarbelakang
Bali. Ibunya bahkan hanya bisa terdiam,
ketika Putu bertanya “Tuhan itu bukan manusia. Apa Tuhan juga perlu makan
seperti Putu?”. Putu bahkan menantang Ibunya untuk menguji Tuhan, “Apa Tuhan
bisa juga Marah?” kata Putu. Selain menguji, Putu malah berniat untuk menolong
Tuhan. Ibunya kembali hanya bisa terdiam.
* * * * *
Tokoh utama
dalam cerpen Oka Rusmini ini bukan hanya Putu. Tapi ibunya Putu atau Ratih. Ia
menikah dengan seorang Wartawan freelance
bernama Gede Adnyana. Cinta yang terjalin antara mereka berdua begitu
cepat. Ratih tanpa mempertimbangkan banyak hal, memutuskan menikah dengan
laki-laki, yang ia percaya bisa memahaminya. Pernikahan terjadi antara dua
kaum, bangsawan dan bukan bangsawan. Untuk itu, terjadi suatu tumbukan
(perselisihan) antara Ratih dan keluarga suaminya (Ibu dan saudari-saudari
Adnyana), ketika hidup bersama dalam satu rumah. Ratih pun merasa tidak nyaman
dan ingin segera memiliki rumah sendiri. Namun, suaminya yang begitu sibuk,
seakan begitu jauh dari masalahnya. Masalah semakin menumpuk, bahkan Ratih
bisa-bisanya dimaki oleh keluarga Adnyana, hanya karena menanam bunga di taman
belakang rumah.
Di mana suami Ratih? Ia sibuk dengan
pekerjaannya. Di mana Putu? Putu
tampaknya melihat (mengamati) apa yang terjadi atas ibunya. Perilaku yang tidak
baik dari Odah (Nenek untuk kaum
Sudra) membuat Putu rindu untuk bertemu dengan Nenek dari pihak ibunya.
Tergambar lagi betapa Ratih diam dan pucat mendengar permintaan Putu. Ia tahu
bahwa sudah menjadi aib dalam keluarganya yang bangsawan karena nikah dengan
laki-laki yang tidak sederajat. Tingkah laku Putu membuat Ratih menyadari
sekaligus bersyukur mempunyai anak perempuan. Kesadarannya saat mengusap rambut
Putu dan berharap banyak terhadap anaknya kelak. Padahal, ketika Ratih hamil,
ia berharap anaknya adalah laki-laki. Karena laki-laki bisa melindunginya di
masa tua, dll. Kerinduan itu pun hilang saat Putu lahir. Sentuhan pertama Ratih
saat melahirkan darah dagingnya itu, menghapus kekecewaanya. Begitu juga dengan
laki-laki yang mencintainya. Berkali-kali menyentuh bibir Ratih dan dengan mata
berbinar berkata “Kaulihat, dia akan menjadi pelindungmu. Dia pasti akan
cerewet. Odahnya pasti kalah. Juga
kecerewetan adik-adikku.”
Ceritapun
berlanjut. Odah menghilang.
Perselisihan terjadi antara anggota keluarga yang saling menuduh satu dengan
yang lain. Pencarian Odah tidak
membuahkan hasil. Sampai bau busuk yang tercium dari dalam sumur dibersihkan.
Ditemukan bangkai Odah di dalamnya.
Keluargan pu melakukan ngaben sesuai
tradisi Bali. Setelah ngaben selesai,
Ratih yang selama ini disibukan dengan pencarian dan kematian Odah tiba-tiba mengingat Putu. Ia
kemudian pergi menjumpai anak perempuannya itu yang sedang memotong-motong daun
di dekat sanggah. Putu dengan riang,
dan sambil menatap ibunya berkata, “Putu sudah menolong, Tuhan, Bu. Putu
mendorong Odah ke sumur ….,” Cerita
pendek ini kemudian berakhir dengan ekspresi Ratih saat mendengar perkataan
Putu. “Hyang Widhi! aku memekik.
Wajahku biru. Tubuhku menggigil. Langit serasa runtuh menghimpitku. Tak
kurasakan tanah tempatku membenamkan kaki. Anakku………..”
* * * * *
Saya akan
menganalisa kisah ini dari prespektif Putu. Sesuai dengan judul cerpen “Putu
Menolong Tuhan.” Putu tentu menjadi sentral dari cerita. Putu anak yang kritis,
dan mempunyai pertanyaan-pertanyaan tak terduga. Pemahaman Putu tentang Tuhan
sangat menarik. Tapi lebih menarik kita bertanya, darimanakah pemahaman Putu tentang Tuhan? Sehingga ia begitu kritis dan
menantang? Berdasarkan cerpen, ibu Putu menganggap di dalam diri Putu
terdapat dua Roh. Terkadang dia berperilaku seperti laki-laki dan kadang dia
berubah, menjadi lemah lembut. Hal itulah yang membuat Putu menjadi terlalu
kritis untuk ukuran seorang anak. Tetapi, menurut saya itu saja belum cukup.
Pemahaman Tuhan menurut Putu yang begitu kritis bisa di tinjau dari model
klasik psikoanalisis “Sigmund Freud.” Namun, sebelumnya kita terlebih dulu
melihat posisi Putu dalam teori John Piaget.
Dalam pembagian
tahap perkembangan anak oleh John Piaget, kita bisa menduga bahwa Putu berada
pada tahap ketiga yaitu Tahap
Konkret-Operasional (Usia 8-13 tahun): Mulai berpikir logis, tapi terbatas pada
apa yang dapat dilihat atau diraba. Pada tahap ini, pernyataan agamawi diterima
secara harafiah.[1]
Memang sekali lagi tidak dijelaskan di dalam cerpen berapa umur Putu.
Satu-satunya data yang kita bisa ketahui adalah dia seorang anak perempuan.
Teori Piaget, memberikan masukan bahwa, Putu berada dalam
masa, di mana dia sudah mulai berpikir secara logis. Untuk itu, tidak
mengherankan jika Putu sering bertanya/mengomentari apa yang dilakukan ibunya.
Tapi kemudian Putu tidak bisa saja berada dalam posisi ini. Ia tidak hanya
bertanya berdasarkan apa yang dilihat dan diraba. Melainkan berpikir maju.
Misalnya “menguji Tuhan atau menolong Tugan.” Saya meminjam perkataan “Sigmund
Freud” yang menentang agama, “ide-ide
tentang keagamaan, dipengaruhi oleh orang Tua kita sejak kita anak-anak.”
Putu dalam hal ini, mengerti sosok Tuhan, berdasarkan penglihatan dan
pedengaran dari orang tua, dan apa yang terjadi di sekelilingnya. Dengan kata
lain, Putu menyerap dengan cepat informasi dan tindakan yang ada disekitarnya
dan coba untuk mengkonfirmasikan Tuhan seperti apa kepada orang Tuanya
(ibunya).
Bisa (tidak?) diduga bahwa Putu menyerap tingkah laku Ayahnya
yang adalah seorang wartawan. Tugasnya adalah investigasi (berhubungan dengan
pertanyaan-pertanyaan). Begitu juga dengan ibunya yang adalah seorang pengajar,
yang sibuk dengan materi, dan persiapan-persiapan makalah. Faktor-faktor ini
bisa saja mendukung Putu dalam mengerti Tuhan. Bersamaan dengan Putu, Ibunya
pun masih dalam perjalanan memahami Hyang
Widhi. Sering ia bertanya kepada Tuhan tapi dalam diri sendiri, seolah mencari
jawaban sendiri. Perkembangan iman si ibu, seakan dikejar dengan perkembangan
pesat dari anaknya sendiri.
Ratih, mungkin berusaha untuk merefleksikan iman-nya, di
tengah situasi kebudayaan, keluarga, dan agama yang menindas (konteks Bali).
Tapi sebaliknya, hasrat untuk mencinta, dicinta, dan dilindungi sangat kuat
dalam dirinya. Ia rela menjadi aib
demi cinta yang sebetulnya ia sendiri tidak terlalu mengerti. Untuk itu ia
mengharapkan suatu anak laki-laki sebagai pelindung. Suaminya pun mengatakan di
saat Putu lahir, bahwa ia akan menjadi “pelindung” ibunya. Hasrat Ratih
memiliki anak yang melindunginya itu ternyata bergejolak dalam diri Putu, gadis
kecil yang cerdas. Putu melindungi Ratih dengan pemahaman kepolosannya. Begitu
juga dengan Tuhan, Putu menolong Tuhan yang sibuk bekerja. Putu juga menguji
Tuhan, apa Tuhan marah? Semoga.
* *
* * * * * *
[1] Gereja Dan Pendidikan
Agama Kristen (Mencermati Peranan Pedagogis Gereja) Hlm 71. karangan ELI TANYA
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih kepada sobat sekalian yang sudah masuk ke blog ini. Jangan lupa untuk komentar ya.