Mengenang 11 September konflik di Maluku
Kamis,11 September 2014 tepatnya 3 tahun sejak konflik di Ambon pada tahun 2011. Saya selalu tersentak pada tanggal 11 September karena peristiwa WTC. Namun, sejak tahun 2011 menjadi kenangan tersendiri bagi saya karena menjadi korban yang kesekian kalinya dari konflik sosial yang selalu terjadi di Maluku.
Di hari minggu itu, mama dan adik saya sedang masak dan saya sendiri sedang menonton tv di kamar. Tiba-tiba banyak orang berlarian dan berteriak "kerusuhan". Tiang listrikpun berbunyi sana sini, menandakan peringatan serius. Kami pun keluar rumah dan meilhat asap yang tidak jauh dari tempat kami tinggal. Asap itu menimbulkan trauma lagi, karena saya selalu melihatnya. Sayapun kaget, karena konflik kenapa bisa terjadi lagi. Mungkin saya pada saat itu terlalu naif, karena berpendapat Ambon tidak akan konflik lagi.
Saya tidak ingin menjelaskan apa yang menyebabkan konflik ini, tetapi saat konflik inI terjadi. Dan tentunya dari perspektif saya yang terbatas. Saya pun terbatas untuk berjalan ke sana ke mari, karena saya juga harus berada di rumah yang lokasinya dekat dengan konflik, berjaga-jaga terhadap hal yang tidak diinginkan bagi mama dan adik saya.
Saat konflik terjadi, tidak semua daerah di Ambon terjadi kerusuhan. Sebagian kecil memilih untuk damai. Titik kerusuhan lebih banyak berpusat pada daerah kota, dan sekitarnya. Saya juga berharap pada konflik pada saat itu, seharusnya dengan canggihnya peralatan komunikasi, seperti hp, bahkan media sosial memudahkan orang untuk berkomunikasi dan mencari informasi yang sebenarnya. Tetapi malah sebaliknya, media sosial dan komunikasi bagai pedang bermata dua. Bahkan menjadi pemicu kebencian yang memprovokasi. Untuk itu ada upaya-upaya untuk melakukan informasi bandingan yang sebenarnya.
Konflik ini tidak berkepanjangan, walaupun masih terasa sampai 2012, bahkan pada saat momen bersejarah pada hari Pattimura 15 Mei. Ini adalah hari yang mengerikan dan memalukan bagi upaya perdamaian. Tetapi mengingatkan kita bahwa konflik bisa saja terjadi. Upaya akar rumput, insiatif, intelektual, dialog, perjumpaan agama saja belum cukup. Perdamaian hendaknya holistik, sistem negara dan pemerintahan harus kita tarik ke dalam, memeperbaikin kekerasan struktural yang menindas daerah pulau kecil. Permainan politik yang kotor juga harus segera dihapus. Politik yang harus pro rakyat. Begitu juga dengan pemerintahan agama yang pro pada rakyat. Dan rakyat yang Pro hidup ( I.W.J. Hendriks). Di bidang yang lain pun sangat penting secara berkepanjangan.
Dan di hari ini, saya menghadiri seminar Religious Peace Building in Maluku di Interfidei Dian, Yogyakarta. Saya sangat tertarik. Apalagi ketika perkenalan dengan pemateri yang ternyata memiliki latarbelakang study hubungan internasional. Tetapi sayang sekali saya tidak bisa mendapatkan kajian serta analisa perdamaian di Maluku berdasarkan latar belakang studinya. Padahal itu akan cukup menarik, melihat konflik dan perdamaian dari sudut pandang yang berbeda dan tidak biasanya.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih kepada sobat sekalian yang sudah masuk ke blog ini. Jangan lupa untuk komentar ya.